Trust pada Film Indonesia Sudah Terbangun

Rabu, 12 Februari 2020 - 12:10 WIB
Trust pada Film Indonesia Sudah Terbangun
Trust pada Film Indonesia Sudah Terbangun
A A A
SURVEI Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada Desember tahun lalu berhasil mematahkan teori bahwa orang Indonesia lebih menyukai menonton film asing. Hasil survei menunjukkan 67% penduduk usia 15–38 tahun menonton setidaknya satu film Indonesia di bioskop. Kondisi ini tentu saja berdampak terhadap peningkatan jumlah penonton film nasional di bioskop. Pengamat budaya pop dan perfilman yang juga Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Hikmat Darmawan menilai kondisi perfilman Indonesia terlihat menguat dalam empat tahun terakhir ini. “Film Indonesia sedang menguat seperti pada 2008,” jelasnya kepada Efi Susiyanti dan fotografer Asep Tatang dari SINDO Weekly, pekan lalu. Lebih jauh, Hikmat mengatakan bahwa menguatnya industri film nasional disokong pola komersial yang bisa diandalkan, yaitu adaptasi dari buku. Berikut petikan wawancara lengkapnya.

Ke depan, apakah jumlah penonton film Indonesia akan terus naik?Saya belum menyelami data lebih dalam tepatnya di mana mulai naik. Kita sudah punya penonton yang mayoritas anak muda. Mungkin karena filmnya itu tentang peristiwa sosial. Sebut saja misalnya film NKCTHI (Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini – yang mengisahkan tentang kisah keluarga).
Ada anggapan SDM penulis skenario film kita masih rendah. Benarkah? Kalau kekurangan jumlah penulis scenario, iya. Dengan tuntutan industri seperti sekarang, jumlah juga menjadi masalah. Produser sering kesulitan mencari skrip kar
ena kurang sekali orang yang menjadi penulis skrip. Akhirnya, skrip yang dipakai ditulis oleh orang-orang yang sudah bisa kita tebak siapa saja.

Soal mutu juga tergantung. Kalau benchmark-nya adalah film-film pemenang FFI (Festival Film Indonesia), tidak banyak yang mencapai kualitas ini. Banyak penulis film layar lebar yang ilmu menulis skenarionya adalah skenario sinetron. Walaupun samasama bermedia audio visual, sebenarnya berbeda. Untuk mengatasi masalah mutu, sekarang baik produser maupun sutradara menerapkan moda produksi pengembangan naskah. Jadi, tidak pernah ada satu penulis tunggal.

Aktor juga itu-itu saja?Ini juga problem. Ketika struktur film di dunia sudah tidak lagi mengandalkan bintang, kita masih mengandalkan bintang. Itu pun lebih sering karena kelatahan. Kelatahannya lebih disebabkan oleh para investor atau produser yang ingin aman. Paling aman ya risiko dikecilkan, salah satunya menggunakan pemain yang sama.
Menjadi persoalan juga bahwa cerita film dan peran utama seolah-olah hanya untuk penonton kelompok usia aktor tertentu. Banyak sekali bintang yang kuat, tetapi tidak jadi bintang karena filmnya. Kalau aktor kuat, yang senior pasti jadi peran pembantu, tidak ada yang jadi peran utama. Beda dengan di Hollywood, ada tempat bagi aktor yang tua.

Sekolah film punya andil pada SDM perfilman?Belum tentu karena sekolahnya juga. Sekolah hanya satu aspek. Di luar negara yang industrinya sudah jadi, seperti Amerika Serikat (AS), Eropa, Inggris, dan misalnya Prancis, mereka punya majalah khusus sinematografer. Di majalah itu, kalau ada film, tata kameranya pun dipelajari. Jadi, pengetahuannya tidak perlu lewat sekolah, melainkan ada rujukan yang jelas.
London punya lembaga bernama British Film Institute. Belum tentu sekolah betulan, tetapi lembaga itu banyak memproduksi buku dan infografik tentang aspek-aspek pembuatan film. Namun, di Indonesia kan jomplang sekali. Kritikus film tidak ada, media pun hanya mengupas dan menghasilkan tulisan soal keterampilan teknis. Itu problem.

Apakah karena pengetahuan masyarakat yang rendah?Zaman sekarang problemnya justru pengetahuan orang soal teknis tinggi sekali. Sayang, gagasannya tidak. Orang lebih sibuk dengan alat ketimbang berpikir kenapa alat tersebut dipakai. Kurang kritis mungkin. Makanya lembaga kritik itu penting sekali.
Soal peta persaingan film Indonesia dengan negara-negara Asia? Jadi, yang menonjol di Asia adalah Korea dengan produk k-pop dan film. Dekade 90-an, Asia bangkit dengan world movie yang biasanya laris di festival karena diversity film-film dari belahan Bumi manapun. Dalam konteks world movie, Iran yang menonjol. Film Asia Tenggara bangkit pada awal 2000-an. Ada Malaysia, Filipina, Thailand, dan Indonesia. Asia Tenggara bangkit dari segi estetik. Filmmaker di Asia Tenggara menyumbang cara pandang baru terhadap sinema dan cara pandang dunia terhadap sinema.

Apakah film Indonesia masih kalah saing dibanding negara Asia atau Asia Tenggara?Dari segi komersial dan estetik, film kita belum sampai puncaknya. Kita selalu dihormati Thailand dan Malaysia sehingga terkadang membuat lupa bahwa yang menghormati kita sudah lebih (unggul). Kualitas teknis film Indonesia sangat tinggi, tetapi kualitas gagasan masih ketinggalan. Keberhasilan komersial mulai menyusul. Kalau kita dapat semua itu, kita bisa menjadi raksasanya film di Asia Tenggara.
Kapan film Indonesia bisa seperti itu?
Kalau begini-begini saja, ya enggak bakal sampai. Kalau ada kekayaan gagasan dan keragaman, yang dikejar bukan hanya capaian teknis atau komersial belaka, mungkin dalam waktu 3–4 tahun sudah oke.
Sebetulnya, kiblat perfilman kita mana?
Banyak. Ada kelompok Yogyakarta, seperti Hanung Bramantyo dan Garin Nugroho. Jakarta ada anak IKJ, ada anak IKN. Memang berbeda-beda. Ada Joko Anwar. Di satu sisi, Indonesia dihormati karena besarnya, tetapi susah ditangkap atau susah dihargai karena saking banyaknya.
Bagaimana cara agar film Indonesia bisa berkembang di daerah?Dibangun bioskop di berbagai daerah. Jadi, yang terpenting ada distributornya dan distribusinya.
Apa saja kelebihan dan kekurangan film Indonesia sekarang dibanding film era 80–90-an?Kelebihan film Indonesia sekarang teknis. Dulu lebih banyak filmmaker yang menggunakan film sebagai pernyataan kultural. Dulu, banyak filmmaker bicara tentang masyarakat, enggak hanya filmnya doang. Sekarang, orang film sebenarnya keberatan kalau disebut punya tanggung jawab kultural. Kebanyakan lebih tertarik dengan aspek teknis film, ngomongin film sebagai hiburan saja. Dulu, filmmaker sama seperti sastrawan. Kesadaran kultural inilah yang menjadi keunggulan filmmaker pada masa lalu.
(ysw)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6633 seconds (0.1#10.140)